Kamis, 17 Maret 2011

APBN

APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Belanja Negara
Belanja terdiri atas dua jenis:
  1. Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya.
  2. Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:
    1. Dana Bagi Hasil
    2. Dana Alokasi Umum
    3. Dana Alokasi Khusus
    4. Dana Otonomi Khusus.
Pembiayaan
Pembiayaan meliputi:
  1. Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
  2. Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:
    1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
    2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
 Fungsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah sebagai berikut:
  1. Fungsi alokasi, yaitu penerimaan yang berasal dari pajak dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang bersifat umum, seperti pembangunan jembatan,jalan,dan taman umum
  2. Fungsi distribusi, yaitu pendapatan yang masuk bukan hanya digunakan untuk kepentingan umum,tetapi juga dapat dipindahkan untuk subsidi dan dana pensiun.

  1. Fungsi stabilisasi,yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berfungsi sebagai pedoman agar pendapatan dan pengeluaran keuangan negara teratur sesuai dengan di terapkan.Jika pendapatan dipakai sesuai dengan yang di terapkan, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berfungsi sebagai stabilis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah daftar yang memuat rincian penerimaan negara dan pengeluaran/belanja negara selama satu tahun. APBN ditetapkan dengan undang-undang. Tahun anggaran APBN meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (disebut tahun fiskal). Komponen-komponen APBN
  2. Fungsi Otoritas
  3. Fungsi Perencanaan
  4. Fungsi Pengawasan
Komponen-komponen APBN yaitu:
  1. Penerimaan Negara dan Hibah, yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
  2. Pengeluaran/Belanja Negara, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
  3. Pembiayaan Defisit (Pembiayaan Anggaran), yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Tujuan-tujuan Penyusunan APBN
APBN memiliki tujuan-tujuan yaitu:
  1. Meningkatkan produksi nasional dan pertumbuha ekonomi
  2. Meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangangguran
  3. Menstabilkan harga barang- barang
Jenis-jenis Anggaran
  1. Anggaran defisit: bila jumlah penerimaan negara lebih kecil daripada jumlah belanja/pengeluaran negara
  2. Anggaran surplus: bila jumlah penerimaan negara lebih besar daripada jumlah belanja/pengeluaran negara
  3. Anggaran berimbang: bila jumlah penerimaan negara sama dengan jumlah belanja/pengeluaran negara
A.      Pendapatan Dalam Negeri :
·         Pendapatan Migas
      • Minyak
      • Gas


·         Pendapatan Non Migas
      • PPh
      • PPN
      • Bea Cukai
      • Pajak Ekspor
      • Bea Materai
      • PBB
      • Pajak Lainnya
      • Pendapatan Non-Pajak
B. Pendapatan Pembangunan
    • Bantuan Program
    • Bantuan Proyek
C.Belanja Rutin
    • Belanja Pegawai
    • Belanja Barang
    • Bunga dan Cicilan Hutang
    • Subsidi dan Bantuan
    • Pengeluaran Lainnya
D.Pengeluaran Pembangunan
    • Dana Rupiah
    • Pengeluaran Proyek

Menghitung APBN

APBN merupakan instrumen untuk mengatur  pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Di antaranya dalam rangka
mengentaskan kemiskinan. Selain itu, program apa saja yang menjadi prioritas APBN dalam rangka menyejahterakan rakyat .

Ada dua program yang berpihak pada rakyat dalam APBN yang secara spesifik ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Pertama, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yaitu suatu gerakan nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Adapun komponen dari PNPM antara lain: (1) program pengembangan kecamatan (PPK); (2) program
penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP); (3) program pengembangan infrastruktur pedesaan (PPIP); dan (4) program pengembangan daerah tertinggal dan khusus (PPDTK).

                  Sesungguhnya PNPM tidaklah merupakan program yang baru, tetapi merupakan penyempurnaan, harmonisasi, dan integrasi dari program-program pemberdayaan masyarakat yang telah berjalan sebelumnya.

                  Adapun hasil yang diharapkan dari PNPM ini adalah: (1) cakupan pelaksanaan di 34.000 desa miskin dengan keterlibatan masyarakat miskin sekitar 60-70% dari total masyarakat yang
terlibat; (2) meningkatnya akses dan sarana prasarana dasar; (3) tingkat pengembalian tinggi; (4) melakukan efisiensi biaya, sebagai contoh: biaya infrastruktur yang dibangun masyarakat dapat menghemat antara 30-40% dibandingkan kalau dibangun kontraktor; (5) memperluas kesempatan kerja dan berusaha; (6) perbaikan pendapatan keluarga miskin terutama di pedesaan; dan (7) meningkatnya partisipasi masyarakat daerah.
 
                  Program selanjutnya yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di masyarakat adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Nama generik program ini adalah Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) yang merupakan penyempurnaan program bantuan langsung tunai ke masyarakat yang dilaksanakan pada tahun 2005 dan 2006 untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Atas desakan anggota Panitia Anggran DPR-RI, program bantuan langsung tunai ini
dihentikan karena tidak sehat dalam memberdayakan masyarakat. Oleh karena itu program tersebut disempurnakan menjadi PKH yang lebih terukur di lapangan dan memiliki sasaran yang lebih jelas dengan menerapkan syarat-syarat tertentu yaitu pendidikan dan kesehatan. Sasaran dari program PKH ini adalah rumah tangga miskin (RTM) baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan.

                  Adapun tujuan umum program PKH adalah: (1) meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan RTM melalui peningkatan akses dan jaminan pelayanan sosial dasar; dan (2)
memperbaiki kesenjangan, ketidakberdayaan, dan eksklusi sosial. Sedangkan tujuan khususnya adalah meningkatkan akses dan jaminan pelayanan sosial kepada: (1) mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan yang bersifat kronis; (2) mereka yang rentan terhadap guncangan; dan (3) mereka yang tidak mempunyai akses terhadap kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, pangan, dan gizi.

                  Pelaksanaan program PKH ini masih dalam tahap uji coba. Pada tahun 2007 diuji coba pada 500 ribu RTM dengan anggaran Rp 843,6 milyar dan pada tahun 2008 ini masih akan diuji coba lagi dengan sasaran yang lebih luas yaitu mencapai 750 ribu RTM dengan anggaran sekitar Rp 1,0 trilyun. Dalam program PKH ini setiap RTM akan menerima bantuan tunai sebesar Rp 1.390.000 per tahun yang diberikan dalam 4 tahap yaitu setiap 3 bulan sekali rata-rata
sebesar Rp 300.000.

Pengaruh krisis global terhadap Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing – masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal. Menurut Mohamad Ikhsan, negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.